bismillah
Masih
teringat dalam pikiran saya mengenai artikel yang pernah saya baca, artikel
tersebut menceritakan begitu tercengangnya pak menteri riset dan teknologi republik
Indonesia (pak kusmayanto kadiman, waktu itu) ketika beliau berkunjung ke
sekolah dasar di suatu daerah di Indonesia. Beliau tercengang bukan karena
bangunan sekolah yang sangat tidak layak, atau terlalu sedikitnya tenaga
pengajar di sekolah tersebut, tetapi ada hal yang begitu memprihatinkan
(menurut beliau) yang beliau temui disana.
Hal
itu berawal ketika pak mentri masuk ke kelas dan mulai berinteraksi dengan
siswa-siswi di sekolah tersebut. “dek, kalo sudah besar cita-citanya mau
menjadi apa?” tanya pak mentri ke salah satu siswa di dalam kelas, “saya ingin
jadi artis atau bintang film, mereka terkenal pak, biar punya uang banyak dan
bisa beli apa aja” jawab siswa tersebut dengan polosnya dan mayoritas murid
yang ada di kelas itu pun mengamininya. Siswa-siswi tersebut terlalu polos
untuk memahami bahwa ternyata maksud kedatangan pak mentri ke sekolah mereka
adalah untuk memberikan motivasi mengenai pentingnya penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi bagi mereka untuk masa mendatang. Mungkin pak mentri
ingin mencoba menghilangkan kekhawatirannya menanggapi respon dari generasi
penerus bangsa itu, beliau pun mencoba melemparkan pertanyaan “dek, tahu
tentang robot?”, “Ya jelas tahu pak, robot itu mesin dan mesin itu gampang
dibeli pak asalkan kitanya banyak duit” dengan entengnya seorang siswa
menjawab.
Cerita
diatas bukanlah burmaksud untuk mendiskreditkan suatu pekerjaan, karena yang
saya tekankan dari cerita diatas adalah mengenai pola pikir, sudut pandang,
karakter dari sample remaja di Indonesia.
Seperti tak habis mengerti, kenapa hal itu bisa terjadi. Pola pikir yang
mengedepankan profil glamour, kurang tertarik dengan ilmu pengetahuan, serta
menganggap semuanya berpatokan materi merupakan pola pikir yang banyak dijumpai
dianut oleh kalangan remaja di negeri ini, walaupun belum ada penelitian
mendalam mengenai hal ini, tapi minimal fenomena itulah yang didapati oleh pak
mentri dan menjadi gambaran kita mengenai pola pikir reaja masa kini.
Dari
data dan fakta yang ada, menunjukkan bahwa indonesia merupakan salah satu
negara yang korup. Seperti yang dilansir dalam republika online (2/1/13), bahwa
indonesia merupakan negara dengan indeks persepsi korupsi yang mencapai poin
32, membuat indonesia berada peringkat 118 dari daftar peringkat indeks
persepsi korupsi 174 negara dunia, bahkan jika mengacu pada poin tiap negara,
indonesia duduk di posisi 56 negara terkorup. Kita semua ketahui bersama bahwa,
sama halnya dengan kualitas diri yang lainnya, pola pikir, sudut pandang,
karakter tidak akan berkembang dengan sendirinya. Ada beberapa faktor yang
berpengaruh dalam perkembangan kualitas diri tersebut pada tiap individu,
faktor tersebut adalah faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture).
Para developmental psychologist
menuturkan bahwa setiap insan manusia memiliki potensi bawaan yang akan
termanifestasi setelah dia dilahirkan, diantara potensi bawaan tersebut adalah
potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan, namun bila
potensi bawaan ini tidak dipupuk sedemikian rupa oleh sosialisasi dan
pendidikan anak yang baik maka manusia yang dilahirkan secara fitrah ini mampu
berubah memiliki perangai yang kurang baik, bahkan lebih-lebih menurut
Megawangi (2003) , manusia dapat berubah menjadi binatang bahkan lebih buruk
lagi jika setelah manusia dilahirkan ia tidak mendapat sosialisasi dan
pendidikan. Jika hal tersebut kita kaitkan dengan kondisi secara umum dari
remaja di negeri ini pada saat ini, mungkinkah negeri yang korup ini berasal
dari sangat buruknya masa lalu pendidikan yang telah dilewati oleh para oknum
pejabat negara, baik di pendidikn lingkungan keluarga maupun di lingkungan
sekolah, karena disanalah pola pikir, karakter dan nilai-nilai kebajikan para
calon pejabat negara ini dipupuk. Sehingga apabila pendidikan yang mereka
tempuh sangat buruk maka ketika mereka menjabat, mereka membekali karakter
kurang baik dalam menjalankan amanahnya.
Lingkungan
pendidikan dalam suatu negara direpresentasikan oleh sebuah institusi bernama sekolah. Secara garis besar, sekolah itu
terdiri dari beberapa komponen yang diantaranya adalah pelajar, pelajaran,
pengajar, pengajaran, sistem dan kebijakan belajar mengajar. Sebagai faktor
lignkungan dalam pembentukkan karakter dan nilai kebajikan seorang anak,
sekolah memiliki peran yang sangat vital. jika lingkungan pendidikan ini tak
mampu menciptakan suasana kondusif dalam perkembangan karakter anak, maka
karakter generasi bangsa yang nantinya menjadi karakter bangsa hancurlah sudah.
Senada dengan ungkapan yang berbunyi “ as
is the school, so is the state ” (sebagaimana sekolah, seperti itulah
sebuah negara). Sebegitu sentralnya peran sekolah dalam sebuah negara, ketika
kondisi sekolah sedang tidak baik, maka kita bisa menyimpulkan bahwa kondisi
negara itupun sedang dalam konsidi yang tidak baik dan seperti itu pula
sebaliknya.
Sekolah
diharapkan mampu menyiapkan peserta didik yang memiliki nilai-nilai karakter
yang baik dan sekaligus menyiapkan SDM kompeten di bidangnya. Lalu siapa
penentu kualitas karakter peserta didik tersebut ? menjawab hal tersebut, Abur
(2013) menyatakan bahwa SDM akan
berkualitas jika pendidikan juga berkualitas dan kualitas pendidikan sangat
ditentukan oleh kualitas guru. Peran guru dalam perkembangan karakter peserta didik sangatlah besar,
karena guru merupakan sosok yang bersinggungan langsung dengan peserta didik. Ada pepatah sunda menyebutkan bahwa guru
merupakan seorang “ nu di gugu jeung nu ditiru ” (yang ditaati dan yang ditiru)
oleh murid-muridnya. Ya sosok guru merupakan sosok orang tua ke-2 bagi pesrta didik,
orang tua yang mengarahkan peserta didik mengembangkan nilai-nilai kebajikan
yang ada pada tiap individu peserta didik. Bila pada diri seorang guru
ditemukan “penyakit” yang menyebabkan perkembangan karakter peserta didik
menjadi tidak baik, maka yang harus disalahkan pertama kali adalah otoritas
pendidikan kita yang salah merumuskan kebijakan pengembangan kapasitas
profesionalisme guru yang secara tidak langsung telah membuat guru seakan-akan
lupa pada landasan filosofis pekerjaan mulia ini.
Lalu dimana
peran kita sebagai agen perubahan (tentunya perubahan kearah yang jauh lebih
baik) ??
1. Mari kawal terus kebijakan2
pemerintah khususnya terkait pendidikan, dan mari bergerak suarakan aspirasi
kita (karena kita termasuk masyarakat negeri ini) ketika pemerintah
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepada kepentingan
pengembangan karakter peserta didik yang baik. (sebelumnya belum sempat diulas
mengenai karakter yang baik itu seperti apa, karena pastinya setiap orang
memiliki parameter yang berbeda mengenai hal tersebut. Namun menurut saya, akan
ada 1 parameter yang bisa kita gunakan mengenai relatifitas baik dan buruk ini
yaitu baik apa bila hati kita merasa nyaman dan tenang ketika kita dikenai oleh
hal tersebut, dan begitu pula sebaliknya. simple kan? )
2. Mari mengajar !!
Sesuai dengan
putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pengujian UU guru dan Dosen, maka
semua sarjana dan lulusan diploma 4 diluar kependidikan berkesempatan untuk
menjadi guru. Dengan keluarnya putusan ini maka pelajaran yang bisa kita ambil
salah satunya adalah lulusan non pendidikan terbaik mamapu melakukan kontribusi
kongkrit merealisasikan kepeduliannya dengan secara langsung ikut ambil bagian
dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dengan cara mengajar.
3. Dan lain-lain
Cara apapun bisa kita
tempuh, selain dari alternatif cara yang telah diutarakan diatas, yang penting
kita terus dan tetap peduli terhadap pendidikan indonesia, terhadap kemajuan bangsa kita
BANGSA INDONESIA!!
karena, kalau bukan kita yang peduli, mau siapa yang harus peduli? masa negara tetangga sih..
#asbun
Pustaka
Megawangi,
R. 2003. Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. IPPK
Indonesia
Heritage Foundation