Thursday, 9 May 2013

Pendidikan... Siapa Peduli??

bismillah



Masih teringat dalam pikiran saya mengenai artikel yang pernah saya baca, artikel tersebut menceritakan begitu tercengangnya pak menteri riset dan teknologi republik Indonesia (pak kusmayanto kadiman, waktu itu) ketika beliau berkunjung ke sekolah dasar di suatu daerah di Indonesia. Beliau tercengang bukan karena bangunan sekolah yang sangat tidak layak, atau terlalu sedikitnya tenaga pengajar di sekolah tersebut, tetapi ada hal yang begitu memprihatinkan (menurut beliau) yang beliau temui disana.
Hal itu berawal ketika pak mentri masuk ke kelas dan mulai berinteraksi dengan siswa-siswi di sekolah tersebut. “dek, kalo sudah besar cita-citanya mau menjadi apa?” tanya pak mentri ke salah satu siswa di dalam kelas, “saya ingin jadi artis atau bintang film, mereka terkenal pak, biar punya uang banyak dan bisa beli apa aja” jawab siswa tersebut dengan polosnya dan mayoritas murid yang ada di kelas itu pun mengamininya. Siswa-siswi tersebut terlalu polos untuk memahami bahwa ternyata maksud kedatangan pak mentri ke sekolah mereka adalah untuk memberikan motivasi mengenai pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi mereka untuk masa mendatang. Mungkin pak mentri ingin mencoba menghilangkan kekhawatirannya menanggapi respon dari generasi penerus bangsa itu, beliau pun mencoba melemparkan pertanyaan “dek, tahu tentang robot?”, “Ya jelas tahu pak, robot itu mesin dan mesin itu gampang dibeli pak asalkan kitanya banyak duit” dengan entengnya seorang siswa menjawab.
Cerita diatas bukanlah burmaksud untuk mendiskreditkan suatu pekerjaan, karena yang saya tekankan dari cerita diatas adalah mengenai pola pikir, sudut pandang, karakter dari sample remaja di Indonesia.  Seperti tak habis mengerti, kenapa hal itu bisa terjadi. Pola pikir yang mengedepankan profil glamour, kurang tertarik dengan ilmu pengetahuan, serta menganggap semuanya berpatokan materi merupakan pola pikir yang banyak dijumpai dianut oleh kalangan remaja di negeri ini, walaupun belum ada penelitian mendalam mengenai hal ini, tapi minimal fenomena itulah yang didapati oleh pak mentri dan menjadi gambaran kita mengenai pola pikir reaja masa kini.
Dari data dan fakta yang ada, menunjukkan bahwa indonesia merupakan salah satu negara yang korup. Seperti yang dilansir dalam republika online (2/1/13), bahwa indonesia merupakan negara dengan indeks persepsi korupsi yang mencapai poin 32, membuat indonesia berada peringkat 118 dari daftar peringkat indeks persepsi korupsi 174 negara dunia, bahkan jika mengacu pada poin tiap negara, indonesia duduk di posisi 56 negara terkorup. Kita semua ketahui bersama bahwa, sama halnya dengan kualitas diri yang lainnya, pola pikir, sudut pandang, karakter tidak akan berkembang dengan sendirinya. Ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam perkembangan kualitas diri tersebut pada tiap individu, faktor tersebut adalah faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Para developmental psychologist menuturkan bahwa setiap insan manusia memiliki potensi bawaan yang akan termanifestasi setelah dia dilahirkan, diantara potensi bawaan tersebut adalah potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan, namun bila potensi bawaan ini tidak dipupuk sedemikian rupa oleh sosialisasi dan pendidikan anak yang baik maka manusia yang dilahirkan secara fitrah ini mampu berubah memiliki perangai yang kurang baik, bahkan lebih-lebih menurut Megawangi (2003) , manusia dapat berubah menjadi binatang bahkan lebih buruk lagi jika setelah manusia dilahirkan ia tidak mendapat sosialisasi dan pendidikan. Jika hal tersebut kita kaitkan dengan kondisi secara umum dari remaja di negeri ini pada saat ini, mungkinkah negeri yang korup ini berasal dari sangat buruknya masa lalu pendidikan yang telah dilewati oleh para oknum pejabat negara, baik di pendidikn lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekolah, karena disanalah pola pikir, karakter dan nilai-nilai kebajikan para calon pejabat negara ini dipupuk. Sehingga apabila pendidikan yang mereka tempuh sangat buruk maka ketika mereka menjabat, mereka membekali karakter kurang baik dalam menjalankan amanahnya.
Lingkungan pendidikan dalam suatu negara direpresentasikan oleh sebuah institusi bernama  sekolah. Secara garis besar, sekolah itu terdiri dari beberapa komponen yang diantaranya adalah pelajar, pelajaran, pengajar, pengajaran, sistem dan kebijakan belajar mengajar. Sebagai faktor lignkungan dalam pembentukkan karakter dan nilai kebajikan seorang anak, sekolah memiliki peran yang sangat vital. jika lingkungan pendidikan ini tak mampu menciptakan suasana kondusif dalam perkembangan karakter anak, maka karakter generasi bangsa yang nantinya menjadi karakter bangsa hancurlah sudah. Senada dengan ungkapan yang berbunyi “ as is the school, so is the state ” (sebagaimana sekolah, seperti itulah sebuah negara). Sebegitu sentralnya peran sekolah dalam sebuah negara, ketika kondisi sekolah sedang tidak baik, maka kita bisa menyimpulkan bahwa kondisi negara itupun sedang dalam konsidi yang tidak baik dan seperti itu pula sebaliknya.
Sekolah diharapkan mampu menyiapkan peserta didik yang memiliki nilai-nilai karakter yang baik dan sekaligus menyiapkan SDM kompeten di bidangnya. Lalu siapa penentu kualitas karakter peserta didik tersebut ? menjawab hal tersebut, Abur (2013) menyatakan bahwa SDM akan berkualitas jika pendidikan juga berkualitas dan kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas guru. Peran guru dalam perkembangan karakter peserta didik sangatlah besar, karena guru merupakan sosok yang bersinggungan langsung dengan peserta didik.  Ada pepatah sunda menyebutkan bahwa guru merupakan seorang “ nu di gugu jeung nu ditiru ” (yang ditaati dan yang ditiru) oleh murid-muridnya. Ya sosok guru merupakan sosok orang tua ke-2 bagi pesrta didik, orang tua yang mengarahkan peserta didik mengembangkan nilai-nilai kebajikan yang ada pada tiap individu peserta didik. Bila pada diri seorang guru ditemukan “penyakit” yang menyebabkan perkembangan karakter peserta didik menjadi tidak baik, maka yang harus disalahkan pertama kali adalah otoritas pendidikan kita yang salah merumuskan kebijakan pengembangan kapasitas profesionalisme guru yang secara tidak langsung telah membuat guru seakan-akan lupa pada landasan filosofis pekerjaan mulia ini.
Lalu dimana peran kita sebagai agen perubahan (tentunya perubahan kearah yang jauh lebih baik) ??
1.      Mari kawal terus kebijakan2 pemerintah khususnya terkait pendidikan, dan mari bergerak suarakan aspirasi kita (karena kita termasuk masyarakat negeri ini) ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepada kepentingan pengembangan karakter peserta didik yang baik. (sebelumnya belum sempat diulas mengenai karakter yang baik itu seperti apa, karena pastinya setiap orang memiliki parameter yang berbeda mengenai hal tersebut. Namun menurut saya, akan ada 1 parameter yang bisa kita gunakan mengenai relatifitas baik dan buruk ini yaitu baik apa bila hati kita merasa nyaman dan tenang ketika kita dikenai oleh hal tersebut, dan begitu pula sebaliknya. simple kan? )
2.      Mari mengajar !!
Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pengujian UU guru dan Dosen, maka semua sarjana dan lulusan diploma 4 diluar kependidikan berkesempatan untuk menjadi guru. Dengan keluarnya putusan ini maka pelajaran yang bisa kita ambil salah satunya adalah lulusan non pendidikan terbaik mamapu melakukan kontribusi kongkrit merealisasikan kepeduliannya dengan secara langsung ikut ambil bagian dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dengan cara mengajar.
3.      Dan lain-lain
Cara apapun bisa kita tempuh, selain dari alternatif cara yang telah diutarakan diatas, yang penting kita terus dan tetap peduli terhadap pendidikan indonesia, terhadap kemajuan bangsa kita BANGSA INDONESIA!!
karena, kalau bukan kita yang peduli, mau siapa yang harus peduli? masa negara tetangga sih.. 

#asbun
Pustaka
Megawangi, R. 2003. Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. IPPK
Indonesia Heritage Foundation


  



0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.
 
;